Laman

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Mei 2011

Menuju Puncak Rinjani (part1)

Sunset di gunung Rinjani
Gunung Rinjani termasuk ke dalam gugusan gunung berapi pasifik. Terletak di sebelah utara Pulau Lombok, sebagai puncak tertinggi dari Pulau tersebut. Gunung yang berketinggian 3726 M dari permukaan laut ini, memiliki panorama yang eksotis dengan track yang menantang. Pesona yang di tawarkan antara lain seperti danau segara anak pada kawahnya, gua susu, air terjun sendang gile dan yang paling utama adalah pemandangan seluruh lombok dan pulau-pulau kecil di sekitarnya yang terlihat dari puncak rinjani. Gunung ini merupakan bagian dari ‘cincin api’ yang terkenal dan memegang peranan penting dalam aspek kehidupan spiritual masyarakat setempat. Di dalam kawasan gunung terdapat danau berbentuk sabit yaitu danau Segara Anak yang jarak antara titik terlebarnya sekitar 6 km bersebrangan. Danau sulfur ini berada 600 m di bawah lereng kawah. Segara Anak merupakan tempat spiritual. Orang Bali datang kesini setiap tahun dan mengadakan upacara yang disebut 'pekelan' dimana perhiasan ditempatkan di danau sebagai persembahan kepada roh gunung. Masyarakat Wetu Telu juga menganggap danau tersebut sebagai tempat suci dan mereka datang ke sini untuk berdoa pada malam bulan purnama. Gunung Rinjani terbentang di Taman Nasional Gunung Rinjani. Taman Nasional Gunung Rinjani memiliki luas 41.330 ha dan di dalamnya terdapat zona transisi Garis Wallacea. Di tempat inilah flora dan fauna tropis Asia Tenggara bertemu dengan flora dan fauna Australia. Taman Nasional ini didirikan tahun 1997 dan merupakan salah satu dari 40 taman nasional yang ada di Indonesia. Untuk memastikan bahwa masyarakat setempat mendapatkan keuntungan dari pemasukan pariwisata maka Trek Rinjani dikelola oleh kemitraan resmi Taman Nasional yaitu perwakilan masyarakat dan industri sektor umum dan pribadi pariwisata Lombok. Masyarakat menjalankan koordinasi koperatif penjelajahan di Rinjani Trek Center (RTC) di Senaru dan Rinjani Information Center (RIC) di Sembalun Lawang. Pemasukan dari pariwisata dan tiket masuk digunakan untuk konservasi, manajemen, dan membantu Taman Nasional dengan pemeliharaan Trek Rinjani, dengan demikian Taman Nasional dapat terpelihara dengan baik. Model manajemen ini adalah manajemen yang unik di Indonesia dan dianggap sebagai contoh praktik ekowisata di Indonesia. Nama Rinjani sendiri konon berasal dari nama seorang Putri Kerajaan setempat yang bernama Putri Anjani. Ceritanya, pada suatu ketika sang putri di timpa permasalahan yang amat sangat berat, dan tidak mampu untuk mencari solusinya sendiri. Singkat cerita, sang putri mendapat saran dari sesepuh kerjaan untuk bertapa seorang diri di pedalaman pegunungan Lombok. Nah, gunung itulah yang saat ini dikenal sebagai gunung Rinjani. Mengenai mengapa gunung tersebut tidak disebut sebagai gunung Anjani, masih belum jelas alasannya.
 
Rute pendakian Rinjani
Setiap tahunnya Rinjani banyak dikunjungi Wisatawan, penduduk lokal dan pencinta alam. Temperature udara rata-rata sekitar 20oC; terendah 12 oC. Angin kencang di puncak biasa terjadi di bulan Agustus. Kebetulan waktu pendakian saya saat itu adalah bulan Agustus.Waktu itu sih gak kepikiran sampai situ, soalnya dapet info ini baru setelah pulang dengan selamat sampai ke rumah. Dari informasi yang saya peroleh, sebenarnya ada banyak rute pendakian yang bisa diambil. Tapi yang umum dilalui adalah melalui Sembalun Lawang dan Senaru. Rute yang saya ambil saat itu adalah Sembalun Lawang - Puncak - Senaru. Jadi, mendaki melalui rute Sembalun dan turun melalui Senaru. Pendakian saya memakan waktu sekitar 4 hari. Kebetulan saat itu saya adalah anggota salah satu pecinta alam yang cukup terkenal di lombok, jadi pendakian rinjani saya lakukan bersama 3 orang saudara saya sesama pecinta alam. ketiga orang tersebut adalah Bang Don, Gilang dan Sutambe (nama yang aneh ya?hehe,hope he didn't read this). Bagaimana kisah pendakian Habib dan kawan-kawan selengkapnya?Cerita selengkapnya bisa di baca di bawah ini.

Berangkat sekitar jam 8 pagi dari terminal Mandalika di Mataram, kami menuju ke lokasi start pendakian (sembalun lawang) menggunakan bus engkel (semacam minibus). Selain membawa keperluan sendiri, Habib cs membagi-bagi barang keperluan bersama untuk di bawa secara terpisah seperti tenda, alat masak dan makan, beras, parafin, dll. Akhirnya jadilah tas carier yang saya bawa tingginya sampai melebihi kepala saya ketika saya pikul. Perjalanan ke sembalun lawang total memakan waktu sekitar 5 jam (transit bus 1 kali). Biayanya total sekitar 25rb lah per orang. Di sembalun lawang Habib cs berhenti sejenak di Rinjani Information Centre untuk Sholat dan briefing. Yang mem-briefing kami adalah petugas dari RIC, isinya ya seperti pengarahan, informasi cuaca, rute yang akan di lalui, binatang yang mungkin ditemui ketika pendakian, yah semacam bagian dari SOP gitu lah.. Sebenarnya sih saya rasa ini gak perlu karena waktu itu ada Bang Don yang bisa langsung jelasin ke kita. Maklum, Bang Don ini salah satu sesepuhnya Pecinta Alam tempat saya bergabung, jadi udah sering bolak-balik Rinjani. Sekitar jam 2 siang Habib cs berangkat untuk memulai pendakian. Daerah pertama yang dilalui adalah jalan datar yang cukup besar (bisa dilalui mobil) dengan debu yang tebalnya sekitar 5 cm di sepanjang jalan tersebut. Tidak sampai 1 jam melalui jalan tersebut, kami sampai di titik awal pendakian. Dari titik ini Habib cs mulai menghadapi jalan setapak yang menanjak dan menurun dan sesekali juga diselingi dengan jalur yang cukup datar. Jalur pendakian melalui sembalun lawang memang banyak dipilih karena jalurnya yang tidak terlalu menanjak ekstrem. Berbeda dengan jalur pendakian dari Senaru yang berupa jalan menanjak tanpa henti. Sebelum pendakian, saya ingat bang Don berpesan, ketika mendaki jangan saling menunggu, kecuali jika ada salah satu yang minta tolong. Berhenti ketika kamu lelah dan jalanlah lagi ketika merasa sudah cukup kuat. Menurut bang Don, setiap orang itu staminanya berbeda, jadi jika terlalu banyak saling menunggu kita akan lebih lama sampai ke puncak.

Saat di RIC, Habib cs bersepakat untuk memilih Pos 3 sebagai lokasi berkumpul kembali. Rute Sembalun memiliki 3 pos perhentian sebelum sampai di puncak, pos terakhir adalah pos 3 atau yang dikenal juga sebagai camp ground. Daerah yang dilalui setelah jalan berdebu tadi adalah berupa jalan setapak dan berbatu. Terik matahari di sini sangat panas, untunglah perlengkapan yang saya bawa cukup lengkap. Saya memakai jaket yang menutupi seluruh badan, menggunakan sarung tangan, kaos kaki dan sepatu sport. Semuanya adalah hasil pinjaman dari sesama anggota pecinta alam. Sedikit demi sedikit kami mulai terpisah satu sama lain. Sesuai petunjuk bang Don kami tidak saling menunggu. Hal yang memisahkan kami saat itu adalah karena adanya perbedaan kecepatan jalan dan intensitas kami untuk berhenti. Di jalan setapak berbatu ini jalurnya kadang naik kadang turun, suatu ketika ketika jalan menurun, tanpa sengaja kaki saya terpeleset batu kecil hingga jatuh berguling-guling. Yah untunglah carier saya lebih tinggi dari kepala saya, jadi saat jatuh yang terbentur adalah cariernya bukan kepala saya. Dengan cedera ringan saya kembali melanjutkan perjalanan. Saat itu, rekan saya yang lain sudah terpisah jauh dan tidak terlihat lagi. 
 
Setelah jalan setapak berbatu, kini saya mulai memasuki daerah sabana (padang rumput). Di sini udaranya mulai dingin tetapi sinar mataharinya sangat menyengat. Ketika waktu menurut perkiraan saya (dari posisi matahari) menunjukkan pukul 3 sore lewat 23 menit, saya sampai di pos 1. Di pos ini tidak ada sumber airnya, jadi saya hanya melintas, beristirahat sejenak dan kembali melanjutkan perjalanan dengan sisa air minum yang tinggal sedikit. Setelah pos 1, udaranya menjadi semakin dingin. Di daerah ini kondisinya masih mirip dengan yang dilalui sebelum pos 1. Saya berjalan terus, naik dan  turun silih berganti hingga sampai di sebuah puncak bukit yang ditumbuhi sebuah pohon besar. Di sana saya bertemu dengan seorang pendaki lain dari Lombok Timur bernama Bang Jay. Saya istirahat sejenak, makan snack, minum dan berbagi cerita dengan bang Jay. Ketika itu tanpa sadar akhirnya saya mengeluh, duh, kalo tau rasanya naik gunung itu kaya gini, mending saya gak ikut aja. Mendengar itu, Bang Jay berkata, kamu tau gak apa istilah para pendaki untuk bukit ini? gak tau bang, jawab saya. Ini namanya bukit penyesalan. Hampir semua pendaki yang mendaki untuk pertama kali pasti istirahat di sini dan mengeluhkan hal yang sama dengan kamu, jawabnya. Emang sih, kalo dipikir-pikir tempat ini emang enak buat jadi tempat istirahat, dan posisinya itu ada pas setelah jalan menanjak yang cukup panjang. Jadi setelah melalui jalan itu, orang normal pasti butuh istirahat walau cuman sebentar, tempat istirahat kan enaknya di tempat yang gak kena sinar matahari seperti dibawah pohon ini. Para pendaki juga biasanya menyesal karena tau kalo mau balik, udah jauh, mau terus juga masih harus jalan jauh. Arrrggh, pengennya sih gak usah kemana-mana, biar bikin rumah di bawah pohon ini aja (pikiranku waktu itu). Setelah cukup lama istirahat di situ, Sutambe mulai kelihatan mendekati posisi saya. Melihat itu, semangat bersaing saya muncul lagi. Merasa gak terima akan tersusul, saya langsung melanjutkan perjalanan. Singkat cerita akhirnya saya sampai di pos 2 ketika matahari mulai tenggelam. Di pos 2 ini ada  jembatan dari beton yang menghubungkan 2 titik yang terpisahkan oleh celah gunung yang cukup dalam. Hm, ini jembatan bikinnya gimana ya?kebayang gak kalo kita harus jauh-jauh dari kaki gunung memikul bersak-sak semen atau membawa karung pasir dan kerikil, rasanya kaya gimana?. Ah, sudahlah, gak usah dibayangin, yang penting sekarang saya tau kalo di sini ada jembatan yang saya gak tau gimana proses membuatnya. Di pos 2, saya bertemu dengan Bang Don yang sudah menunggu di sana. Kok brenti bang?tanyaku. Kita kemah di sini aja. Ini udah mau malem, bahaya kalo jalan sendiri-sendiri pas malem gini. Kepeleset terus masuk jurang siapa yang tau..jawab bang Don. Ow, ya udah bang, saya siapin tenda kalo gitu, jawabku. Tidak beberapa lama Gilang dan Sutambe akhirnya sampai di sana. Kami membagi tugas, ada yang menyiapkan tenda, mencari dan mengambil air, ngumpulin kayu bakar, dan menyiapkan peralatan masak. Kami bermalam di sana dan baru melanjutkan perjalanan keesokan paginya.
 
Di hari kedua ini kami menuju ke pos 3, atau yang lebih dikenal diantara pendaki dengan sebutan camp ground. Medan yang dilalui tidak lagi berupa jalan setapak berbatu, melainkan jalan setapak ditengah padang rumput yang disepanjang jalannya ditumbuhi bunga Edelweis. Bunga ini sebenarnya jenis bunga yang dilindungi pemerintah, jadi tidak diperbolehkan untuk memetik atau merusaknya. Tapi, ya petik satu atau dua pucuk gak apa-apalah. Lumayan buat oleh-oleh dan jadi bukti kalo saya sudah pernah mendaki rinjani. Singkat cerita, perjalanan memakan waktu sekitar 5 jam, hingga akhirnya kami sampai di camp ground. Di camp ground kami istirahat sejenak sambil mengisi persediaan air. Air di sini dinginnya minta ampun, tapi kemurnian dan kejernihannya boleh di adu dengan air mineral bermerk. Selesai mengisi air, kami melanjutkan perjalanan untuk turun ke danau segara anak. Perjalanan dari camp ground ke danau memakan waktu sekitar 2 jam. Di sana kami berjumpa banyak rombongan pendaki lain. Kami mendirikan tenda dan berisiap untuk istirahat panjang untuk memulihkan stamina setalah perjalanan yang cukup melelahkan. 
View kawah gunung rinjani dari pelawangan (camp ground)
 Satu hal yang saya banggakan tentang pecinta alam adalah rasa persaudaraan yang tinggi di antara mereka. Ini bisa terlihat dari sambutan mereka yang sangat ramah ketika saya mendatangi tenda mereka. Salah satu dari mereka bahkan menawarkan brem (miras tradisional yang terbuat dari air tapai), ketika saya sudah akan menerimanya, tiba-tiba saya seperti mendengar suara mama, "jangan nak.,itu haram". Akhirnya dengan sangat halus sekali saya menolaknya "maaf bang, saya gak level minum yang tradisional, kalo saya itu paling minimal ya jack d' lah.."
(To be continued)
Danau Segara Anak

2 komentar:

  1. seharusnya kan bunga edelweisnya gak boleh di petik, gak perlu bukti pendaki klo menurut ku, cukup di hati aja hehehhe.. berharap mendaki rinjani, tapi blum kesampaian sampai sekarang..

    BalasHapus
  2. setuju Reina Yunita.. pendaki sejati tidak perlu bukti :-)

    BalasHapus